gambar : agus karianto |
Sore itu, kami sengaja ingin berkunjung ke rumah Mbah Seno. Sudah tiga minggu sejak kami menghadapi ujian sekolah, memang kami jarang bisa keluar rumah. Kami harus bekerja keras. Kami harus berjihad dan bertarung mati-matian mempelajari pelajaran sekolah agar nilai ujian menjadi baik. Kata mbah Seno berjihadnya anak pelajar yaitu dengan cara mempelajari pelajaran sekolah. "Jadi belajar sungguh-sungguh termasuk ibadah dan berpahala juga lho," kata mbah seno beberapa waktu yang lalu.
"Assalamu'alaikum," kata kami sewaktu tiba di rumah mbah Seno. Namun tidak ada jawaban salam kami dari dalam rumah Mbah Seno. Dan kami berusaha mengulangi mengucapkan salam lagi.
"Assalamu'alaikum, Mbah Seno"
Namun ucapan salam kedua kami juga tidak mendapat jawaban dari dalam rumah. Kami mulai resah dan saling bertanya.
"Hei...ada nggak ya, mbah Seno? Kok sudah dua kali kita ucapkan salam tapi belum mendapat jawaban juga."
"Iya nih, aneh, tidak biasanya Mbah Seno begini. Atau jangan-jangan beliau sakit?"
Wah kami semakin resah dan panik kalau saja mbah seno benar-benar sakit. Lalu kami berusaha mencoba melongok ke dalam rumah untuk melihat kondisi mbah Seno. Namun kami semakin kecewa karena ternyata di dalam rumah mbah Seno juga tidak ada.
"Kemana perginya Mbah Seno? Bukankah saat ini hari sudah sore, seharusnya beliau sudah berada di rumahnya...Wah pergi kemana beliau?"
"Ini gara-gara kamu sih, Agus," kata Andik menyalahkan.
"Lho kok aku dibawa-bawa? Memangnya salahku apa?"
"Kamu kan tidak mau diajak keluar untuk mengunjungi Mbah Seno beberapa hari yang lalu? Beliau kan hidup sebatang kara, sehingga karena tidak ada teman akhirnya dia pergi entah kemana."
"Lho...ya tidak bisa begitu, kawan. Bukankah kita sudah sepakat mentaati nasehat Mbah Seno untuk berjihad mati-matian mempelajari pelajaran kita agar nilainya bagus. Nah, resikonya ya kita memanfaatkan semaksimal mungkin waktu kita. Setiap detik waktu kita sangat berguna untuk belajar. Oleh karena itu, saya enggan membuang-buang waktu percuma hanya untuk sekedar bermain-main yang tidak ada gunanya."
"Iya...tapi mengunjungi Mbah Seno kan berguna juga, Gus! Bukankah dia hidup sendirian...nah..."
"Sudah..sudah...sudah..kita tidak usah berlama-lama berdebat...kita berpikir positif saja. Kita jangan menduga-duga sesuatu yang belum tentu kebenarannya. Lebih baik kita segera mencari ke sekitar pantai...biasanya Mbah Seno khan senang menyusuri pantai."
"Ya iyalah...ayuk kita cari beliau bersama-sama..." dan kami serentak menyusuri tepian pantai sambil mencari keberadaan Mbah Seno. Setiap tempat dimana Mbah Seno sering menyendiri telah kami singgahi, namun Mbah Seno belum ketemu juga. Kami nyaris putus ada. Dan hari semakin sore, namun usaha kami tidak membawa hasil. Mbah seno sepertinya telah menghilang. Mbah Seno hilang. Mbah Seno hilang. Kami semakin merasa bersalah.
Berita tentang hilangnya Mbah Seno cepat tersebar ke seluruh sudut kampung. Masyarakat mulai ramai memperbincangkan tentang hilangnya Mbah Seno. Dan atas kesepakatan aparat desa, maka seluruh masyarakat dikerahkan untuk mencari keberadaan Mbah Seno. Oleh karena itu, sejak pagi hari tanpa dikomando dan dengan sukarela seluruh masyarakat mulai menyebar ke seluruh pantai untuk mencari keberadaan Mbah Seno. Namun belum begitu lama, tiba-tiba salah satu warga berteriak kencang-kencang :
"Hoiiiii....saya sudah menemukan Mbah Seno...saya sudah menemukan Mbah Seno...!!!"
Seluruh warga segera menghentikan pencariannya. Dan mereka segera berlarian menuju ke arah warga yang telah menemukan keberadaan Mbah Seno.
"Ternyata Mbah Seno masih segar bugar," kata beberapa warga. "Mbah Seno kemana saja semalaman? Kami seluruh warga merasa panik atas hilangnya Mbah Seno."
"Maafkan Mbah Seno, cucu-cucuku," kata Mbah Seno "Memang semalaman Mbah Seno tidak pulang ke rumah. Mbah sengaja pergi ke kampung sebelah untuk mencari ini," kata Mbah Seno sambil menunjukkan sekeranjang bibit-bibit bakau.
"Hah?! Apa ini Mbah?"
"Lho...itu khan bibit bakau, Mbah "
"Memangnya untuk apa mencari bibit bakau, Mbah ?"
Mbah Seno terdiam. Dia mengambil nafas panjang berkali-kali. Lalu beliau mengambil sebuah bibit bakau untuk diperlihatkan kepada warga masyarakat.
"Begini cucu-cucuku," kata Mbah Seno mulai bercerita. "Kalian kan tahu, kalau akhir-akhir ini desa kita sering sekali diterjang air laut. Sudah banyak rumah warga yang rusak. Bahkan saat terjadi ROB yaitu air laut pasang maka nyaris beberapa tempat tergenangi air laut. Kita kebanjiran. Dampaknya aktifitas warga akan terganggu. Belum lagi para nelayan sekarang semakin berkurang mendapatkan hasil tangkapan. Mbah ingat, dulu kita mudah mendapatkan udang, kepiting dan ikan-ikan. Namun sejak hutan bakau kita porak poranda, berantakan, banyak pemotongan liar dan nyaris pantai kita gundul maka kita semakin susah mendapatkan udang. Kita semakin sudah mendapatkan kepiting. Kita semakin susah meningkatkan hasil tangkapan di laut. Ikan-ikan senantiasa kita tangkap sedangkan habitat tempat udang, ikan dan kepiting bertelur tidak ada, sehingga wajarlah hidup kita semakin susah begini."
"Tapi, Mbah, yang menurunkan rejeki itu khan Allah SWT...kalau memang rejeki kita cuma segitu ya kita terima saja."
"Benar cucuku, namun sebagai manusia kita tidak boleh pasrah begitu saja. Apa karena Allah sudah menentukan rejeki kita maka kita pasrah begitu saja dengan kehidupan pantai yang rusak karena ulah kita?
Ini hukum alam. Ini sunatullah, cucuku. Barang siapa yang merawat lingkungannya maka Allah akan menurunkan nikmat sehatnya dan barang siapa yang mencoba merusak alam sekitarnya maka Allah juga akan menurunkan malapetaka bagi kehidupannya. Dan seperti yang kita saksikan di kampung kita ini. Banyak masyarakat sudah tidak perduli dengan lingkungan. Pohon bakau ditebang semaunya. Para nelayan mengambil semua hasil tangkapan tanpa memperdulikan ikan bibit tetap dia tangkap. Kita semakin jorok dengan membuang sampah sembarangan. Dan dampaknya dapat kita saksikan sekarang ini."
Mendengar penjelasan Mbah Seno yang masuk akal membuat seluruh masyarakat sadar akan kesalahannya selama ini. Bapak kepala desa merasa senang atas sikap Mbah Seno yang masih perduli dengan kampungnya.
"Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan, Mabh Seno?" kata masyarakat.
"Begini, cucu-cucuku. Mbah semalam telah mengumpulkan sekarung bibit-bibit bakau. Nah, mbah minta kesadaran seluruh warga untuk menanami sepanjang pantai kita dengan bibit bakau ini. Dan marilah kita rawat dan kita hijaukan sepanjang pantai dengan pohon bakau. Karena dengan hutan bakau ini, insyaallah allah akan menurunkan rahmat dan rezekinya buat seluruh masyarakat. Bila sepanjang pantai kita telah menghijau dengan hutan bakau maka kita akan semakin sehat, para nelayan akan meningkat hasil tangkapannya dan ibu-ibu akan semakin mudah mendapatkan udang, kepiting dan ikan-ikan segar yang lezat."
"Okey...okey...siap Mbah...siap Mbah...siap Mbah..." kata seluruh masyarakat spontan dan penuh kesadaran sambil mengambil bibi-bibit bakau untuk ditanamkan ke sepanjang pantai desa mereka.
Melihat masyarakatnya dengan senang hati berusaha menghijaukan kawasan pantai membuat Bapak kepala desa merasa senang dan diapun segera ikut terjun bersama warga mengambil bibit bakau untuk ditanamkan ke sepanjang pantai sambil berkata kepada Mbah Seno
"Terima kasih, Mbah Seno. Kau layak mendapat julukan pahlawan sejati. Seorang pahlawan tidak memperdulikan apakah pengabdiannya dihargai orang atau tidak. Seorang pahlawan adalah pejuang yang mengabdikan dirinya agar bermanfaat bagi masyarakat banyak sekecil apapun nilainya."
No comments:
Post a Comment