Wednesday, January 25, 2012

KUALI RETAK

       Siang itu seperti biasanya, Pak Ahmad selalu mengisi sampai penuh bak mandinya dengan air sungai menggunakan kuali retaknya. Setelah itu, dia menaruh begitu saja kuali retaknya di sudut taman. Si kuali retak hanya bisa terdiam dan senantiasa berkeluh kesah menyesali nasibnya.
        "Hu..hu.hu...kenapa nasibku terus begini," kata si kuali retak "Andai saja bentuk tubuhku tidak jelek, hitam dan retak seperti ini, tentu hidupku akan lebih bahagia. Sungguh sial hidupku..."
      Tidak jauh dari si Kuali Retak berkeluh kesah, ternyata ada sekuntum bunga mawar yang memperhatikannya.
       "Hai, kenapa kamu  menangis, kuali retak ?" tanya si bunga mawar. "Ada persoalan apa?"
        Si kuali retak tidak menjawab pertanyaan si bunga mawar. Bahkan sebaliknya dia menangis semakin kera. 
       "Hu...hu...huuu...jangan pedulikan aku!" bentak si kuali retak. "Biarkan aku yang merasakan kesedihanku sendiri. Memang nasib si kuali retak yang jelek harus begini"
       "Iya..., memangnya ada apa denganmu, kuali retak? Mengapa kamu selalu menyesali nasibmu?"
       Mendengar si mawar terus berusaha menghiburnya, membuat si kuali retak luluh hatinya.Kemudian ia menceriterakan masalah yang telah dihadapinya.
       "Begini, Mawar," kata si Kuali Retak mulai bercerita. "Kau kan tahu, di antara seluruh penghuni taman ini, sepertinya akulah yang tidak ada gunanya. Aku tidak memiliki prestasi apa-apa. Aku tidak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan. Tubuhku hitam, jelek dan retak. Aku kasihan melihat Pak Ahmad merasa tersiksa setiap kali mengambil air ke sungai. Akibat tubuhku yang retak maka beliau harus berjalan berkali-kali dari rumah ke sungai untuk memenuhi bak mandi. Air yang ada di tubuhku senantiasa bocor kemana-mana. Aku memang tidak berguna. Aku bisanya cuma menyusahkan Pak Ahmad saja. Aku memang layak dibuang. Aku layak menjadi barang  rongsokan!"
        Si mawar merasa iba mendengar cerita si kuali retak. "Si kuali retak rupanya belum mengerti akan hakekat kehidupan," pikir si mawar. "Kalau kita selalu membandingkan hidup kita dengan teman yang telah sukses maka segala apa yang telah kita capai akan terasa tidak berguna. Akibatnya akan timbul rasa tidak puas dan kurang rasa syukurnya terhadap apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepada kita."  

        "Astaghfirullahaladziem... jangan berkata seperti itu, teman." kata si mawar kemudian. "Bukankah ada firman Alloh swt yang berbunyi bahwa semua yang ada di alam semesta ini pasti ada manfaatnya bagi yang lain. Kamu jangan merasa rendah diri dengan bentuk tubuhmu. Tidakkah kau sadar bahwa akibat tubuhmu yang retak itu kau sudah memberi manfaat banyak bagi teman-temanmu," kata si Mawar.
       Si Kuali Retak semakin tidak mengerti arah pembicaraan si Mawar. 
       "Manfaat bagi teman-temanku? Manfaat  apa?"
       "Begini, kuali retak!" kata si  Mawar meyakinkan. "Memang tubuhmu retak, hitam dan kamu sendiri terlalu sibuk menyesali diri. Kau sibuk berkeluh kesah. Kau sibuk menyalahkan diri sendiri.  Kau jarang mensyukuri hikmah dibalik tubuhmu yang retak itu. Akibat tubuhmu yang retak itu kamu siram kami dengan tetes-tetes air sehingga tubuhku jadi segar dan kami bisa terus bertahan hidup. Dan kini aku bisa berbunga lagi. Kami berterima kasih atas kebaikanmu, kawan."
         Si kuali retak terdiam. Ia senantiasa membenarkan ucapan si mawar. Kini ia sadar betapa bodohnya dirinya tidak bisa mengambil nilai positif dari kekurangan tubuhnya. Ternyata dibalik semua yang kita miliki ternyata ada hikmah yang tidak kita sadari.
      Ternyata dibalik ketidaksempurnaan tubuhnya, ia masih berjasa mengisi bak mandi Pak Ahmad. Selain itu tanpa ia sadari banyak teman-teman masih merasakan segarnya tetes-tetesan air lewat retak-retak tubuhnya."
Dan yang lebih membanggakan si kuali retak adalah ia bisa melihat keindahan bunga mawar yang harum baunya.
      


selesai,-


Pesan Moral :
Jangan suka membandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain. Bersyukurlah dengan hidup anda sekarang. Dan senantiasa berpikirlah positif terhadap hidup anda dan berikanlah manfaat yang maksimal bagi lingkungan dimana  anda tinggal.

CAPUNG YANG SOMBONG

ilustrasi : agus karianto
       Sejak perang teluk dimenangkan oleh tentara koalisi yang menggunakan teknologi pesawat helicopter canggih, ternyata membuat si Capung sombong dan angkuh. Sikap si capung jadi berubah terhadap teman-temannya. "Ternyata, teknologi yang meniru bentuk tubuhku bisa memenangkan perang khan," kata si capung menyombongkan diri. Setiap kali bertemu sahabatnya, ia senantiasa berlagak sombong dan suka berkata-kata yang menyakitkan. Bagi si capung, semua sahabatnya tidak ada yang bisa menandingi kehebatannya. Kalau ada sahabatnya mau memperlihatkan prestasi maka serta merta si capung akan berusaha mati-matian menjatuhkan mentalnya. Menghina. Meneror dengan kata-kata, bahkan tidak segan segan mengeluarkan fitnah agar sahabatnya tidak bisa berprestasi menyamai dirinya. "Gengsi kalau ada teman-teman yang berprestasi menyamai prestasiku," demikian kata si capung.
        Sikap si capung ini cukup meresahkan teman-temannya. Tidak ada yang berani menentang apa yang dikatakan si capung. Berdebat saja mereka selalu kalah, apalagi kalau memakai kekuatan fisik. Mereka ketakutan. Namun, semakin teman-teman si capung ketakutan atas sikap si capung, membuat si capung tambah sombong dan berlaku sewenang-wenang. Segala perintah si capung harus ditaati walau dalam hati sebenarnya berusaha menentangnya.
        Suatu saat, teman-teman si capung berkumpul untuk menyusun cara bagaimana menyadarkan kelakuannya yang semakin menjadi-jadi. Dan atas kesepakatan bersama, mereka akan menjebak si capung dengan menggunakan lem yang terbuat dari gelang karet yang direndam dalam minyak tanah selama seharian.
       "Nah, sekarang lem ini sudah jadi, teman-teman," kata kupu-kupu
       "Pasang lem di ujung sebuah lidi, lalu kita letakkan lidi tersebut di tanah lapang. Tentu si capung yang sombong itu akan menghinggapinya. Dan mari kita lihat apa yang bisa diperbuat dengan kesombongannya"
       Lalu mereka bersama-sama memasang lidi yang ujungnya diberi lem ke tengah lapang. Kemudian mereka melihatnya di kejauhan.
       Dan sudah menjadi kebiasaan, si capung selalu hinggap di tempat yang lebih tinggi dari tempat yang lainnya, maka ketika dia melintas di tanah lapang  segera hinggap di ujung sapu lidi tanpa menyadari bahwa sebenarnya lidi itu adalah jebakan buatnya.
       "Aduuuh....aduuuhhh...aduuhhh....tolong..tolong...toloooongg," teriak si capung saat tubuhnya lengket di atas lidi.
       "Horeee....horeee...horeee....," teriak teman-teman si capung sambil berlari mendekati si Capung yang kini tubuhnya tidak berdaya dipenuhi  lem.
       "Tolong aku, teman-teman...bebaskan aku dari lem yang menjijikkan ini, teman-teman," rintih si capung.
       "Hah...minta tolong?! Apa tidak salah pendengaranku? Hewan yang merasa dirinya kuat, perkasa, dan tidak ada teman yang sanggup menandinginya kok kini tidak berdaya...minta tolong lagi...Dimana kekuatanmu si sombong!"
        "Biarkan saja dia merasakan akibat keangkuhan dan kesombongannya!" bentak yang lain. "Biar dia sadar dan merasakan kalau hidup di dunia ini seharusnya saling tolong menolong, tenggang rasa, tidak sok jago, tidak semaunya sendiri! Kalau kamu sudah terjebak tak berdaya seperti ini lalu apa yang bisa kamu perbuat? Apa bisa kamu menolong diri sendiri dengan sikap angkuh dan sombongmu itu?"
         Mendengar penuturan teman-temannya, membuat si capung menangis dalam hati. "Memang benar kata teman-temannya, apa yang bisa ku perbuat sekarang ini?" pikirnya. Kini dia menyadari akan sikapnya yang salah selama ini. Sikap angkuh, sombong, mau menang sendiri, tidak suka menolong teman yang kesusahan tentu akan berdampak jelek bagi hidupnya, karena hidup di dunia ini tidak bisa hidup menyendiri tetapi perlu saling tolong menolong dengan sesama.


selesai,-


Pesan Moral :

hidup di dunia ini harus bisa tenggang rasa, saling tolong menolong dan tidak boleh merasa menang sendiri

KISAH PERSAHABATAN KUCING DAN ANGSA (oleh : aguskarianto)


gambar : agus karianto
                                                                  oleh Agus Karianto
Dahulu kala, kucing dengan angsa hidup rukun. Dimana ada kucing, pasti disitu ada angsa. Mereka senantiasa berbagi suka dan duka bersama. Bila si angsa diganggu hewan lain maka spontan si kucing membelanya. Bahkan si Angsa  rela menyisihkan sebagian tempat tidurnya untuk kucing. Seandainya si kucing mendapatkan makanan tentu akan dibagi bersama dengan si angsa. Demikian pula sebaliknya, apabila si angsa yang mendapatkan makanan maka si kucing akan mendapatkan jatahnya juga.
          Suatu hari, ketika si kucing berjalan-jalan di pematang tambak, dia menemukan seekor ikan bandeng. Ukurannya cukup besar dan baunya harum. Dia lalu segera mengambilnya dan secepatnya lari menuju salah satu gubuk di pematang tambak. Berkali-kali ia memandangi ikan bandeng yang ditemukannya. Dan berkali-kali pula air liurnya keluar. Ia ingin segera menyantap ikan bandeng tersebut, namun seketika niatnya batal ketika ingat akan sahabatnya, si angsa,  yang sekarang ada di rumah. "Wah, kalau saja ikan ini harus saya bagi dengan si angsa... tentu aku cuma mendapatkan setengahnya," demikian pikir si kucing. "Padahal ikan ini enak sekali. Andai saja aku membagi ikan ini sama besar...lalu aku dapat bagian ekornya maka si angsa akan dapat bagian kepalanya. Padahal kepala ikan adalah makanan yang paling aku suka. Andai saja aku dapat bagian kepala, sedangkan si angsa dapat ekornya, tentu aku kehilangan bagian tubuh ikan yang banyak dagingnya. Aduuhhh...bagaimana ini?" pikir si kucing kebingungan karena dia mulai punya sikap tidak adil dan tidak mau berbagi dengan temannya.
       "Ah, biarlah aku tidak akan membagi ikan ini dengan si angsa. Toh, dia tidak tahu kalau aku menemukan ikan. Aku akan makan ikan ini secara sembunyi-sembunyi saja."
Lalu di kucing membawa ikan tersebut ke gudang pembuatan batik yang tempatnya cukup jauh dari rumah si angsa. Namun dugaan si kucing salah, ternyata si angsa juga ada di tempat tersebut untuk mencari makanan.
      "Hai, kawan mau kemana?" sapa si angsa. " Wah... kamu dapat makanan yang lezat ya?" 
Si kucing terkejut. Nyaris ikan yang dibawanya hampir terlepas dari gigitannya. Tubuhnya gemetaran karena niat buruknya ingin makan ikan sendirian akhirnya ketahuan si angsa. Dia berniat mau lari menghindar, namun si angsa segera menyusulnya. "Hoi, kucing mau kemana kamu dengan membawa makanan itu ?!" teriak si angsa. "Kamu mau menghindar dari aku ya? Kamu mau menikmati makanan itu sendirian ya? Kamu  mau berbuat curang kepadaku ya?"
Si kucing tidak menghiraukan teriakan si angsa. Dia lari semakin cepat dan berusaha memanjat meja. "Di atas meja ini tentu si angsa tidak bisa mengejarku," pikir si kucing. Kini si kucing bersembunyi di balik ember berisi cairan lilin untuk membatik agar tidak kelihatan temannya. Sebaliknya si angsa hanya mondari-mandir ke sana kemari di bawah meja sambil menunggu si kucing turun.
"Sialan, si angsa tidak segera pergi juga!" kata si kucing dalam hati. "Bikin aku tidak tenang saja menikmati ikan ini." Lalu si kucing berfikir sejurus untuk mencari cara bagaimana agar si angsa segera pergi jauh-jauh. Tiba-tiba dia mengambil ember berisi cairan lilin dan perlahan-lahan ia menyiramkannya ke tubuh si angsa.
       "Aughhh....panas...panas....dasar kucing sialan! Tidak bisa membalas budi! Awas...awas...awas...kamu ya....," demikian teriak si angsa sambil lari tunggang langgang mencari air untuk menghilangkan cairan lilin dari tubuhnya. Sementara si kucing lari menjauh menghindari ancaman si angsa.
Dan sejak saat itu setiap kali si angsa ketemu air selalu membenamkan tubuhnya ke dalam air sambil  mengepak-ngepakkan sayapnya untuk menghilangkan cairan lilin dari tubuhnya sambil berkata : "Awas...awas...awas...". Sedangkan si kucing selalu ketakutan dan menghindar dari air, sebab ia takut  bulu-bulunya terkena limbah cairan lilin di air yang digunakan si angsa mandi.


selesai,-


Moral Cerita :

persahabatan yang telah dibangun susah payah ternyata bisa berantakan akibat salah seorang memiliki sikap serakah, tidak mau berbagi dan lebih mementingkan diri sendiri. 

Saturday, January 21, 2012

YATIM DAN SAHABAT-SAHABATNYA

          Sudah seminggu, Yatim tidak bermain-main dengan sahabat-sahabatnya. Tidak ada yang tahu apa penyebabnya. Seluruh sahabatnya saling bertanya tentang ketidakhadiran Yatim setiap kali mereka memulai permainan. Biasanya kalau Yatim ada keperluan dan tidak bisa bermain tentu dia akan memberitahu sahabat-sahabatnya. Saat itu sahabat Yatim, antara lain Kelinci, kera, kura-kura, kancil, gajah dan burung pipit  berencana mencari penyebab ketidakhadiran temannya.
         "Jangan-jangan Yatim tersesat di jalan, teman-teman?" kata kura-kura.
         "Wah, itu tidak mungkin, kura-kura," sahut burung pipit " Bukankah selama ini dia datang dan pulang ke tempat bermain sendirian. Tidak ada yang mengantarkannya, khan? Jadi dia pasti tahu arah jalannya"
         "Wah benar sekali pendapatmu, burung pipit," celetuk kelinci. "Atau...jangan-jangan...Yatim dimakan harimau hutan, ya? Ihhh...sereemmm... takuuuuut..."
         "Hei, kelinci jangan sembarangan saja kamu omong!" bentak gajah. "Mana berani si Harimau menginjakkan kakinya di hutan kekuasaanku ini. Omong kosong itu....dia tidak akan berani berbuat macam-macam di sini. Dia takut tubuhnya kulempar lagi jauh-jauh dengan kedua gadingku ini" kata gajah sambil memamerkan kedua buah gadingnya yang berukuran besar dan panjang.
         "Wuaaah...aku percaya sih, teman," kata kancil ikut nimbrung berdiskusi. "Yatim tersesat di hutan, itu tidak mungkin. Yatim dimakan harimau, itu juga tidak mungkin. Atau... jangan-jangan dia sakit, teman-teman? Sebab saat terakhir kali kita bermain-main dengan dia, tempat ini khan lagi hujan lebat"
          "Barangkali benar pendapatmu, kancil," kata mereka hampir bersamaan.
          "Kasihan kalau Yatim benar-benar sakit."
          "Ayo teman-teman kita mengunjungi rumah Yatim untuk mengetahui kondisinya."
          "SETUJU....ayo kita segera ke sana!!!."
          Dan pagi itu, kelinci, kura-kura, kancil, gajah, monyet dan  burung pipit pergi bersama-sama menuju rumah Yatim. Rumahnya tidaklah terlalu jauh, yaitu berada ditepi hutan dekat dengan aliran sungai.
         "Nah...itu rumahnya, teman-teman" kata kelinci sambil tangannya menunjuk ke arah gubuk kecil di pinggir hutan yang di sisi kanannya ada sungai. Mereka segera mempercepat langkahnya agar segera sampai di rumah Yatim.
                                                     
***
  
         "Assalamu'alaikum," sapa mereka serentak ketika berada di depan rumah Yatim. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari dalam rumah. Dan sekali lagi mereka mengucapkan salam : "Assalamu'alaikum, Yatim. Kami teman-temanmu bermain di hutan. Apakah kamu ada di rumah?"
Ternyata mereka masih belum mendengar ada jawaban juga. Hal ini semakin membuat mereka khawatir dengan keadaan Yatim. Oleh karena itu, tanpa pikir panjang, mereka sepakat mendekati rumah untuk mengetahui keadaan Yatim yang sebenarnya. Dan betapa terkejutnya mereka, ternyata Yatim ada di dalam rumah sedang menangis tersedu-sedu di samping tubuh ibunya yang tergolek sakit. Dia tidak tahu harus berbuat apa terhadap ibunya yang sedang sakit, sebab dia masih terlalu kecil.
          "Kasihan kamu, Yatim," kata si kancil "Ayo teman-teman kita bantu Yatim. Untuk itu, kita bagi-bagi tugas ya...! Sepertinya, ibu Yatim memerlukan obat dan makanan agar bisa segera sembuh."
          "Baik, kancil...aku dapat tugas apa?" kata si monyet.
          "Iya...iyaaa...iyaaa...kami juga mau bekerjasama membantu Yatim, agar ibunya segera sembuh," pinta yang lain serentak.
          "Baik teman--teman. Aku akan bagi-bagi tugas ya....," lanjut si Kancil. "Untuk kamu si Monyet, tolong carikan berbagai macam buah-buahan segar dari hutan. Untuk kamu si kelinci, coba kumpulkan tumbuhan obat-obatan yang cocok dengan sakitnya ibu si Yatim. Untuk kamu di Gajah, tolong kumpulkan kayu bakar untuk kita bikin masakan. Dan untuk kamu kura-kura, tolong penuhilah ember Yatim dengan air  bersih. Dan kamu si Pipit, tolong temani Yatim dan hiburlah dia agar tidak bersedih karena teman-temannya akan membantunya. Dan aku sendiri akan menyiapkan segalanya di rumah," demikian perintah si kancil kepada teman-temannya.
          "Baiklah, kalau begitu kita mulai bekerja kawan!"
           Dan secepat kilat teman-teman Yatim bekerja sesuai dengan tugas masing-masing. Si kura-kura dengan cangkangnya mulai mengisi ember sedikit demi sekikit dengan air bersih hingga penuh. Si kelinci berlari ke hutan untuk mengumpulkan dedaunan yang berkhasiat obat. Si gajah dengan belalai dan dua gadingnya telah membawa banyak ranting-ranting kering dari dalam hutan. Si monyet membawa setandan pisang, seikat rambutan, berpuluh-puluh apel serta sepotong sarang tawon hutan yang berisi madu.
          Betapa senangnya si Yatim melihat kerjasama yang ditunjukkan teman-temannya. "Dengan apa aku akan membalas kebaikanmu, teman-teman?" kata Yatim
"Hush, kamu jangan bilang begitu, Yatim. Sudah menjadi kewajiban kami membantu teman yang sedang mengalami kesusahan. Kalau kamu susah, kami juga merasakan susah, Oke? Nah, sekarang kami insyaalloh akan membuat ibumu kembali sehat seperti dulu."
          Kemudian, segala ramuan obat-obatan herbal dibuat. Madu hutan sudah selesai dipisahkan dari sarangnya dan siap untuk diminum. Beberapa teman menyalakan api untuk menyiapkan makanan. Setelah itu, si Yatim bertugas menyuapi ibunya dengan obat, meminumkan madu dan menyuapi dengan makanan. Dan betapa ajaibnya, ternyata tidak berapa lama ibu Yatim mulai sadar dan dia bisa duduk di atas tempat tidurnya. "Alhamdulillah," teriak teman-teman yatim. Demikian pula dengan Yatim.  Tidak henti-hentinya dia mengucapkan rasa syukur kepada Alloh swt  karena ibunya telah pulih sehat kembali.
          "Jadi, ternyata kalian teman-teman Yatim, ya? Sungguh mulia hati kalian yang dengan susah payah telah membantu kami. Terimakasih ya...terimakasih untuk kalian semuanya." 
Mendengar pernyataan tulus ibu Yatim, membuat semua teman Yatim terharu. Mereka saling berpelukan dan meneteskan air mata haru.
           "Dan, untuk kamu Yatim," pinta ibunya. "Mulai besok kamu bisa bermain-main dengan teman-temanmu lagi. Tapi ingat, jangan terlalu jauh bermainnya ya..."
           "Horee....horee.....horeee....terima kasih, ibu. Saya akan selalu menaati nasehat ibu."
           Si kancil, kelinci, burung pipit, gajah, monyet dan kura-kura kini bisa tersenyum, melihat si Yatim sudah bisa tertawa seperti biasanya. Dan untuk mensyukuri kesehatan ibu Yatim, mereka mengadakan pesta makan buah-buahan yang telah di kumpulkan si monyet dari dalam hutan.


selesai-

moral cerita :
persahabatan yang tulus akan berbuah manis di kemudian hari.


Friday, January 20, 2012

;SAPAAN KHAS PAK ZUL SI TUKANG POS (oleh : aguskarianto)

foto : holydayinsight.com
       Pak Zul, demikian panggilan akrabnya. Dia adalah seorang tukang pos di kampungku. Namanya cukup keren lho. Mirip nama seorang raja yang tercantum dalam al-Qur'an. Raja yang telah membangun tembok Ya'juj dan Ma'juj. Namanya Iskandar Zulkarnain. Tapi, seluruh  warga kampungku lebih akrab memanggilnya Pak Zul saja.
       Sore itu, seperti hari-hari sebelumnya, Pak Zul asyik merawat sepedanya. Sepeda kuno itu telah menemaninya tugas selama 30 tahun. Sudah sebulan Pak Zul dan sepedanya tidak pernah kelihatan mondar-mandir lagi di jalanan kampungku. Kata orang tuaku, sekarang beliau sudah pensiun. Dan tugas mengantar surat di kampungku kini digantikan oleh orang baru. Usianya lebih muda dan dalam menjalankan tugas sudah tidak memakai sepeda lagi tetapi sudah memakai sepeda motor. Aku merasa kehilangan Pak Zul. Aku kehilangan sapaan khasnya. Aku kehilangan senyum tulus layaknya kakek kepada cucunya. Aku kehilangan orang, yang setiap beliau mengantar surat kerumah selalu menghadiahkan sebutir permen gula asem kepadaku. Warga sekampung merasa kehilangan beliau.
         Sore itu, aku dan dua temanku mau bersilaturahmi ke rumahnya.
        "Assalamu'alaikum, Pak Zul," sapaku memberanikan diri ketika sore itu aku sampai di rumahnya.
        Mendengar salamku, Pak Zul seketika menghentikan kesibukannya membersihkan sepedanya. Sambil membetulkan letak kacamatanya. dia bergegas menemui kami.
        "Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu," jawabnya "Eeee...cucu-cucuku. Ayo masuk, jangan cuma berdiri didepan pintu saja. Hoi..hoi..hoiiiiiiiiiiii....Ayoo...ayooo...duduk dulu, cucuku."
        Mendengar sapaan khas dan keakraban Pak Zul, terasa terobati rasa kangenku seperti ketika beliau masih aktif mengantar surat ke setiap rumah kami.
         "Terima kasih, Pak Zul. Tapi... sepertinya kita enak ngobrol di teras sini saja, Pak. Udaranya lebih sejuk."
         "Eitsss....cucu-cucuku nggak mau menikmati permen gula asem yang ada di dalam rumah lagi, ya?" demikian rayunya.
         "Enak di luar saja, Pak, lebih santai dan bebas ngobrolnya." pinta kami.
          Nampaknya Pak Zul  tidak mau terus memaksaku lagi. Dia masuk rumah sebentar, lalu keluar menemui kami sambil sambil membawa setoples permen gula asem.
           "Asyiiiikkkk," pikir kami sambil terus memperhatikan dan membayangkan kelezatan setoples permen gula asem yang dibawa Pak Zul.
        "Memangnya ada keperluan apa... jauh-jauh kok menemui Bapak?" tanya Pak Zul kemudian.
        "Pak Zul, kenapa sih tidak mengantar surat lagi ke kampung kami? Kami kehilangan orang baik seperti bapak. Kami kangen sapaan bapak. Kami....,"
        "Hoi...hoi...hoiiiiiiii...." kata Pak Zul memotong ucapanku "Kamu ini lucu, cucuku. Bapak ini sudah tua dan telah mencapai batas usia pensiun seperti yang telah ditetapkan pemerintah kita. Semua pegawai negeri juga mengalami seperti yang bapak alami yaitu masa pensiun. Bapak sudah pensiun. Dan tugas bapak sudah selesai. Tugas bapak sekarang digantikan oleh orang yang usianya lebih muda. Pegawai yang punya semangat baru. Dalam bertugas, mereka menggunakan sepedamotor sehingga surat akan lebih cepat sampai ke alamat tujuan."
        "Tapi, Pak. Seharusnya ada pengecualian buat orang sebaik bapak!" kataku dengan penuh harap   "Orang sebaik bapak, seharusnya mendapat prioritas tambahan masa kerja. Sebab bagi kami, bapak adalah panutan kami. Bapak adalah pemberi semangat kami. Bapak adalah segalanya buat kami."
        "Hoi...hoi...hoiii....astaghfirullah...kamu nggak boleh bilang begitu, cucuku. Dalam masalah tugas, memang aturan pemerintah kita seperti itu. Tidak ada pengecualian terhadap siapapun juga. Kalau sudah sampai batas umur pensiun... yaaa mereka harus segera pensiun apapun alasannya. Bapak selalu taat peraturan. Dan lagi, bapak tidak mau dikultuskan atau dipuja-puja, cucuku. Memang menurut kalian, bapak adalah orang baik, perhatian dan sebagainya. Tetapi perlu kalian diketahui, bahwa bapak ini adalah manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan."
         "Tapi...pak, kami merasa kehilangan bapak...!!"
         Pak Zul terdiam sesaat. Menarik nafas dalam dalam-dalam.Lalu, beliau duduk di sebelahku. Aku lihat air matanya  mengalir membasahi pipi. Aku tak kuasa menahan rindu layaknya cucu kepada kakeknya. Dan, segera aku peluk tubuhnya erat-erat. Demikian pula Pak Zul memelukku erat-erat.
        "Pak Zul, kami rindu keakraban, sapa, dan  tawa seperti saat bapak bertugas dulu."
         Pak Zul masih memelukku semakin erat. Dan dengan nada yang terbata-bata dia mencoba menghiburku.
        "Baiklah, cucuku. Insyaallah mulai besok, bapak akan mengunjungi kalian lagi. Bapak akan melakukan hal-hal seperti yang bapak lakukan saat bertugas dulu. Bapak akan memberi kalian permen gula asem setiap kali berkunjung ke rumah kalian"
        Mendengar ucapan Pak Zul membuat kami senang. Pak Zul mau mengunjungi rumah kami lagi, katanya.
        "Jadi bapak mau mengunjungi kami lagi? Mau ke rumah kami lagi?Alhamdulillah....horeeee....horeeee....terimakasih, Pak Zul" kata kami kegirangan.
        "Tapi ingat, cucuku. Kali ini, Bapak tidak akan mengantar surat kepada kalian lagi lho! Dan perlu diingat, bapak mau melakukan hal ini karena bapak menginginkan kalian menjadi anak pintar, menjadi anak sholeh dan sholehah berbakti kepada orang tua Bapak ingin agar kelak kalian bisa menjadi generasi penerus bangsa yang bisa bersaing dengan bangsa-bangsa besar di dunia. Kalian berjanji?!"
        "Terimakasih, Pak...insyaallah kami berjanji akan melakukan apa yang bapak cita-citakan."
          Pak Zul tersenyum. Kami tertawa riang sambil menikmati permen gula asem bikinannya.
          "Akhirnya, besok kami akan bisa mendengar sapaan khas Pak Zul si tukang pos :   
           "HOI....HOI....HOIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII......"



selesai,-

Thursday, January 19, 2012

MENIKMATI SHOLAT (oleh : aguskarianto)

          Sepulang sekolah, Untari bergegas menuju rak buku ayahnya. Baju seragam masih melekat di tubuhnya. Di rak buku, diambilnya beberapa buku tuntunan sholat milik ayahnya. Lalu selembar demi selembar buku  yang membahas tentang sholat dibacanya. Setiap kali selesai membaca buku ia menaruhnya dengan wajah cemberut. Ada rasa kecewa di wajahnya. Sepertinya apa yang dicarinya tidak ditemukan juga.
           "Uuuh...dimana sih?" gumam Untari berkali-kali, sampai-sampai dia tidak menyadari kalau ibunya sudah berada di hadapannya.
          "Lho...Untari masih belum ganti baju, belum makan dan belum sholat kok sudah baca-baca buku?" sapa ibunya "Hayoo...gak mau jadi anak sholehah lagi ya?
          "Iya, sebentar Bu... lagi tanggung nih. Tinggal satu buku lagi!" jawab Untari.
          "Duuh...sayangku lagi cari apa sih kok sampai lupa makan dan sholat?" sapa ibunya sambil duduk disamping Untari. Rambut Untari yang nampak kusut dibelai-belai sambil dirapikannya. Tidak lupa kecupan sayang ibunya mendarat di kedua pipi Untari.
          "Bu, tadi guru agama Untari bilang kita disuruh menikmati sholat. Nah...Untari jadi penasaran. Apa benar sholat bisa dinikmati? Emangnya sholat itu makanan ya?
          Mendengar penuturan Untari membuat ibunya tersenyum dalam hati. Dia bangga ternyata anak gadisnya sangat perhatian dalam masalah sholat yang menjadi kewajiban setiap muslim.
          "Kamu itu lucu, Untari. Sholat kok disamakan dengan makanan."
          "Tapi......"
          "Iya deh...begini saja, sekarang kamu ganti baju dulu, sholat lalu jangan lupa makan. Biarlah nanti kita tanyakan ayah saja ya."
          "Baik, Bu" jawab Untari sambil memunguti buku ayahnya untuk dikembalikan ke tempatnya. Dan secepat kilat ia masuk ke kamarnya untuk ganti baju, lalu mengambil air wudlu dan mengerjakan sholat.

***

          Sore hari, setelah sholat ashar, Untari bergegas hendak menemui ayahnya di ruang keluarga. Di sana sudah berkumpul ayah, ibu dan kakaknya. Ketika Untari datang, ayahnya sudah tersenyum dan mengetahui maksud anaknya sebab istrinya telah menceritakan kejadiannya.
         "Jadi...anak ayah mau menikmati sholat ya," kata ayah Untari sebelum anaknya menyampaikan maksudnya.
         "Iiih, ayah...tahu aja maksud kedatanganku," jawab Untari sambil merangsekkan tubuhnya diantara ayah dan ibunya. "Tapi benar khan  pak, kalau sholat itu tidak sama dengan makanan? Kok pak guru bilang menikmati sholat? Apa sholat sama dengan martabak bisa dinikmati?"
         "Hahahahaha.....bisa saja kamu!" kata ayah, ibu dan kakak hampir bersamaan.
         "Awas dosa lho kalau kamu bilang sholat sama dengan martabak," kakaknya menyela pembicaraan mereka.
         "Tapi aku khan gak salah. Bapak guru yang bilang begitu," jawab Untari tidak mau kalah.
         "Begini Untari, apa yang dibilang gurumu itu tidak salah. Memang seorang muslim harus bisa menikmati sholatnya. Bukankah di dalam Al-qur'an ada ayat yang mengatakan bahwa kita dianjurkan mengerjakan sholat dengan khusyuk yaitu sholat yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran bahwa kita berhadapan dengan Alloh SWT. Dalam Al-qur'an surat Al-mu'minun ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sholatnya". Jadi melaksanakan sholat sebaiknya tidak dilakukan dengan tergesa-gesa, tapi harus tumakninah."
         "Apa bisa dikatakan menikmati sholat itu sama dengan khusyu' dalam melaksanakannya, pak?"
         "Insyaaloh demikian maksud bapak gurumu," lanjut ayahnya.
         "Oooo jadi begitu. Alhamdulillah akhirnya rasa penasaranku terjawab sudah. Terimakasih, ayah."
         "Nah, kalau Untari sudah mengerti cara menikmati sholat, sekarang gantian kita menikmati oleh-oleh ayah," kata ibu Untari sambil membuka kotak bertuliskan Martabak spesial.
         "Alhamdulillah.....horeee....horeeee....horeeee...kita menikmati martabak spesial!" teriak Untari dan kakaknya kegirangan. Dan sore itu mereka menikmati Martabak spesial bersama-sama.


selesai-
     

KISAH AYAM-AYAM PAK SULAIMAN

          Di depan kandang ayam Pak Sulaiman nampak dua ekor ayam sedang membagi makanan. Ayam broiler berada di dalam kandang sedang ayam jago bebas berkeliaran di luar kandang. Keduanya memang sahabat sejati. Setiap Pak Sulaiman memberi makanan  kepada Broiler maka ayam jago yang berada di luar kandang pasti mendapat jatah dari si Broiler. Kemudian mereka makan bersama-sama.
         "Wah...makanan hari ini enak sekali, Broiler," kata ayam jago. "Sungguh baik ya, Pak Sulaiman kepadamu.
         "Iya, jago! Memang sudah saatnya aku mendapat makanan seperti ini," kata ayam broiler sambil meneteskan air mata. "Sudah tiba masanya...ya... sudah tiba masanya,teman"lanjut ayam broiler masih terus meneteskan air mata.
        Ayam jago keheranan melihat ayam broiler tiba-tiba menangis. Padahal saat itu, tidak ada yang memarahi atau melukai tubuhnya.
         "Lho...apa maksudmu dengan jawaban sudah tiba masanya? Memangnya ada apa? Sudah tiba masanya apanya? Dan kenapa kamu kok tiba-tiba menangis begitu? Ayolah ceritakan masalahmu padaku, barangkali aku bisa membantumu, broiler"
         Broiler tidak menjawab sepatah katapun kepada si Jago. Bahkan tangisnya semakin menjadi-jadi. Kedua ayam akhirnya melupakan makanan enak yang dihidngkan Pak sulaiman siang itu. Si jago hanya bisa diam. Dia enggan berkomentar lagi sebab takut pendapatnya ikut menambah kesedihan si ayam broiler.

          "Sudahlah ayam jago, memang ini sudah nasibku," kata si broiler menghibur diri. "Ayo kita lanjutkan makan siang kita. Lupakan peristiwa yang baru lalu yaaaa...." kata Broiler seraya meneruskan makanan yang ada di hadapannya.
           Sebaliknya si ayam jago kurang bersemangat lagi melahap makanan yang diberikan si broiler.
         "Lhoo...kamu kok jadi kurang bergairah menyantap makananmu, Jago," kata Broiler. "Sudahlah anggap saja tidak ada kejadian apa-apa tadi siang yaaaa..."
          Sejurus kemudian ayam Broiler tidak berkata sepatahpun. Sementara itu, sambil melanjutkan menghabiskan makanan pemberian Broiler, ayam jago kembali bertanya dan ingin mengorek keterangan  Broiler kenapa temannya itu kok tiba-tiba menangis.
          "Aku jadi ikut sedih, teman. Memangnya ada apa dengan kamu?"
          Si broiler menghentikan makannya, lalu berjalan mendekati si jago.
          "Begini, teman," kata Broiler memberi penjelasan. "Kalau dipikir-pikir Aku kepingin hidup seperti kamu saja, Jago. Hidup bebas. Bisa pergi kemana saja engkau mau. Kamu bebas memilih makanan yang kamu sukai. Bisa tidur dimana saja yang kamu mau. Kamu bisa bebas bermain dengan teman-temanmu kemana saja. Kamu bebas menikmati alam raya ciptakan Allah SWT ini. Dan bebas....."
           "Hei...hei...hei...kamu mau hidup seperti aku??? Apa nggak salah itu?" jawab si jago.
           "Benar , teman!"
           "Hush...padahal aku menginginkan hidup seperti kamu, Broiler," jawab Jago. "Hidupmu terjamin. Semua serba ada. Makanan setiap hari selalu tersedia dan tepat waktu lagi. Kamu tidak usah susah-susah mencari makanan. Rumahmu juga bagus, kalau musim hujan tidak akan kehujanan. Dan kamu kalau sakit tentu Pak Sulaiman akan cepat-cepat mengobatimu. Bukankah enak hidup seperti itu, Broiler?"
         "Ahh...kamu jangan mencoba hidup seperti aku, teman! Kamu jangan hidup seperti aku!Hiduplah seperti apa yang kau jalani hari ini. Biarlah aku saja yang menjalani hidup seperti ini"
         "Lho, memangnya kenapa, Broiler? Wajar khan setiap ayam menginginkan hidupnya serba terjamin dan tidak merasa sengsara menjalani hidup?" kata ayam jago berargumentasi.
         "Sudahlah, teman. Sebentar lagi kamu akan tahu kenapa aku menginginkan hidup seperti kamu. Syukuri saja hidup yang kamu jalani saat ini. Tidak usah terlalu banyak berkhayal. Apa yang kau terima hari ini nikmatilah. Karena belum tentu kehidupan yang kau khayalkan itu baik buat kamu. Dan pesan terakhirku...biarkanlah temanmu hidup dengan kehidupannya dan hiduplah kamu dengan kehidupanmu sendiri...."
          "Tapi.....kawan...."
           Dan belum sempat Broiler menjawab pertanyaan ayam jago, tiba-tiba datanglah dua orang karyawan Pak Sulaiman memegang tubuh Broiler dan membawanya ke tempat pemotongan ayam.
           Melihat si Broiler akan disembelih, ayam jago lari tunggang langgang sambil berkata :
           "Kasihan nasib Broiler. Benar kawan, kita harus bersyukur dengan kehidupan kita saat ini. Biarlah teman kita hidup dengan kehidupannya dan kita hidup dengan kehidupan kita sendiri." 


selesai,-

pesan moral cerita di atas :

Kita jangan suka memandang kehidupan ini tidak bernilai dengan membandingkan kehidupan teman kita yang memiliki kehidupan lebih baik. Tapi bersyukurlah dengan apa yang anda peroleh hari ini.




         
         

KISAH SI POHON APEL DAN SI CACING

Illustrasi : agus karianto
          Saat pagi buta ketika matahari belum menampakkan sinar kehangatannya, nampak seekor cacing berjalan-jalan di sela-sela akar pohon apel. Dia bergerak ke kiri dan ke kanan. Berkali-kali kepalanya membentur akar pohon apel. Hal ini membuat pohon apel terbangun karena tidurnya terganggu. Dan tanpa pikir panjang, benda yang mengganggu akarnya dilemparkan jauh-jauh. "Wushhhhh..." Dan si cacing terkejut karena tubuhnya tiba-tiba melayang ke udara dan jatuh ke atas tanah.
          "Aughh....sakiiit! Sialan, pagi-pagi tubuhku sudah dilemparkan pohon apel!"  teriak si Cacing. "Dasar apel sialan! Tubuhku jadi sakit, nih!"
          "Ooo jadi kamu yang mengganggu tidurku, ya?!" bentak pohon apel. "Rasain tuh! Memangnya ngapain kamu pagi-pagi sudah mengganggu tidurku ? Kini aku jadi tidak bisa tidur lagi, khan !"
          "Tapi....badanku jadi sakit semua, Pel! Awas ya... kamu harus bertanggung jawab kalau tubuhku sampai patah tulang."
          "Hihihihi....Lalu, maumu apa, Cing?"
          "Pokoknya aku minta keadilan. Aku minta ganti rugi....ganti rugi....."
          "Lho, kamu yang salah kok aku yang dimintai ganti rugi? Mana ada ceritanya di dunia ini yang salah mendapat ganti rugi atas kesalahannya sendiri?"
          "Nggak bisa ! pokoknya aku minta ganti rugi!" teriak si cacing.
Saat si Cacing dan pohon apel berdebat tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, datanglah seekor kupu-kupu untuk melerai perdebatan mereka.
          "Selamat pagi, teman-teman," sapa kupu-kupu "Masih pagi kok sudah bertengkar? Memangnya ada persoalan apa? Adakah yang bisa saya bantu?"
Mendengar sapaan si kupu-kupu, membuat si cacing dan pohon apel berhenti bertengkar. Lalu mereka menceritakan penyebab kejadian pertengkaran mereka.
          "O jadi itu permasalahannya?" kata si kupu-kupu sambil mengangguk-anggukan kepala.
          "Begini teman-temanku," lanjut si kupu-kupu mencoba memecahkan persoalan yang mereka hadapi. "Sebenarnya di antara kalian berdua telah terjadi salah paham. Tidak ada yang salah maupun yang benar dalam persoalan ini. Bukankah Alloh SWT menciptakan semua isi alam semesta ini pasti ada gunanya. Si cacing berjalan di dalam tanah saat pagi hari untuk mencari makanan. Mungkin si apel merasa terganggu. Bekas jalan yang ditinggalkan si cacing sebenarnya berguna bagi akar-akar si pohon apel untuk bernafas. Kalau akar-akar mendapat udara segar maka si apel akan tumbuh dengan sehat. Dan kamu si apel, seharusnya berterima kasih kepada cacing karena tanah di sekitarmu jadi subur. Jangan mau menang sendiri. Akupun perlu menghisap madu di bunga apel dan bunga-bunga yang lain untuk makananku. Akupun juga jadi perantara bunga-bunga mengadakan penyerbukan untuk menghasilkan buah. Semua makhluk hidup itu saling membutuhkan. Tidak ada makhluk yang merasa paling berjasa. Merasa paling berguna di antara makhluk hidup yang lain. Allah SWT menciptakan makhluk di alam semesta ini pasti ada gunanya. Tidak boleh ada makhluk yang berkata dia tidak berguna hidup di dunia. Semuanya pasti ada gunanya."
           Pohon apel dan si cacing saling mengangguk-anggukkan kepala. Mereka sadar akan kekhilafannya. Memang tidak sepantasnya sebagai makhluk ciptaan Allah swt merasa sok mulia dan merasa sok berharga dibandingkan dengan makhluk yang lain. Semua makhluk memiliki kedudukan yang sama di hadapan sang pencipta. Kita diciptakan untuk saling menghargai dan menyayangi sesama makhluk Allah swt. 
          "TERNYATA SEMUA MAKHLUK HIDUP ITU BERGUNA YA, CING" kata si apel sambil memeluk tubuh si cacing sebagai tanda mereka telah saling memaafkan. Dan si kupu-kupu tersenyum sambil beterbangan di atas mereka.


                                                                              - selesai -

Wednesday, January 18, 2012

KISAH BERUANG DAN KERA (oleh : aguskarianto)

gambar : agus karianto
       Pada suatu hari di pinggir hutan, ada seekor beruang sedang berjalan sambil menangis. Dia berjalan terhuyung huyung
 sambil kedua tangannya memegangi perutnya. Sesekali terdengar suara Kruyuuuk...kruyuuukk...kruyuuuk... dari perutnya. O, rupanya si Beruang sedang kelaparan, nih.
       Tidak jauh dari tempat beruang menangis, ada seekor monyet sedang memperhatikannya.
       "Assalamu'alaikum, Beruang," sapa si monyet "Memangnya ada apa kamu berjalan sambil menangis dan pegang-pegang perut begitu?"
       "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Monyet. Aku menangis karena perutku lapar nih. Sudah tiga hari aku tidak menemukan makanan secuil pun. Hu..hu..hu..huuuuu...".
       "Kasihan benar nasibmu, Beruang," kata si monyet. "Tapi tidak usah khawatir, teman. Aku ada sedikit persediaan makanan untukmu.Lumayan bisa untuk mengganjal perutmu yang kosong. Ayo ikut aku!"
        Mendengar kata makanan, spontan si Beruang menghentikan tangisannya. Lalu dia berjalan mengikuti si Monyet. Terbayang dalam pikirannya sebuah makanan yang lezat milik si Monyet.
       "Ayo, Nyet! Tunjukkan dimana makananmu. Aku sudah sangat lapar, nih!" demikian rengek si Beruang kepada Monyet.
       "Ya, sabar dong, kawan. Sabar itu disayang Alloh SWT lho".
       Kemudian, si Monyet dan si Beruang berjalan beriringan memasuki hutan. Si Beruang nampak semangat berjalan di sebelah si monyet. Rasa lapar di perutnya tidak dihiraukan lagi, sebab dia membayangkan sebentar lagi akan menikmati makanan sepuas-puasnya.
       "Nah, di sanalah tempat makanan yang aku maksudkan itu, Beruang," kata Monyet sambil  menunjuk ke arah pohon durian. Pohon durian itu buahnya banyak dan telah masak. Dari jauh aromanya sudah tercium harum.
      "Horeeeeeeeeee....horeeee....horeee....akhirnya aku dapat makanan!!" teriak Beruang kegirangan sambil berlari mendekati pohon durian.
       Si Monyet  tersenyum melihat temannya sudah melupakan kesedihan akibat perutnya lapar. Beruang berjalan sambil menari-nari kegirangan menuju pohon durian. Namun ditengah kegirannya itu, tiba-tiba si Beruang kembali bersikap murung dan sedih, sebab buah durian itu ternyata tempatnya tinggi menggantung di ranting-ranting pohon.
       "Lho, ada apa lagi, Beruang? Kok kamu bersedih lagi?"
       "Nyet, buah durian itu tempatnya cukup tinggi. Aku tidak bisa memanjatnya. Tolong ambilkan aku sebuah, dong!" rengek Beruang kepada si monyet.
        Si monyet menyadari bahwa tubuh beruang yang besar tidak memungkinkan untuk memanjat pohon durian.
       "Baiklah, sahabatku." jawab monyet sambil berlari dan melompati ranting demi ranting pohon durian di depannya. Dan dalam sekejap saja dia telah berada pada dahan pohon yang terdapat buah duriannya.
        "Awas, beruang! Menjauhlah dari pohon ini sebab bila kamu tertimpa buah durian ini badanmu akan terasa sakit!" teriak monyet sambil menjatuhkan sebuah durian.
       Betapa senang si Beruang mendapat buah durian. Lalu secepatnya buah durian itu dibuka, dan tanpa pikir panjang, si Beruang mulai melahap sebiji demi sebiji buah durian tersebut. Akhirnya, dalam sekejap  buah durian itu habis dilahapnya. "Wuih, lezat benar buah ini, tapi kalau rasanya masih kurang," demikian pikir Beruang.
       "Hoi, Nyet! Perutku masih terasa lapar nih. Tolong ambilkan buah durian lagi!" perintah Beruang. Lalu si Monyet mengambilkan lagi sebuah. Dan dalam sekejap buah durian itu dihabiskan lagi. Demikian Beruang mengulanginya sampai berkali-kali.
      "Wah, Beruang kok jadi serakah begini?" pikir si Monyet. Si  monyet akhirnya merasa tidak suka dengan sikap serakah si beruang. Maka ketika Beruang menyuruh mengambilkan buah durian lagi, dia menolaknya.
       "Hoi, Nyet! Ambilkan sebuah lagi!" bentak Beruang.
       "Nggak mau! Kamu serakah gitu!"
       "Ambilkan, Nyet...cepaaattt!!" teriak beruang.
       "Awas ya ! Kalau kamu nggak mau mengambilkan buah durian itu lagi maka aku akan memukul kepalamu," demikian gertak Beruang sambil mengayunkan kedua tangannya hendak memukul kepala si monyet.
Namun secepat kilat monyet berusaha menghindarinya, lalu ia berlari dan naik ke atas pohon durian. Kini si Monyet telah bertengger di atas dahan dan tidak mau turun. Beruang makin jengkel sebab kalau si Monyet ada di atas pohon, dia tentu tidak akan dapat mengejarnya sampai kapan pun. Oleh karena itu, kemudian Beruang dengan kedua tangannya meraih pohon durian sambil terus mengancam si Monyet : "Hoi. Nyet! Kalau kamu tidak mau mengambilkan durian lagi maka aku robohkan pohon ini!" demikian bentak Beruang sambil menggoyang-goyang pohon durian.
       "Awas, Beruang! Jangan lakukan itu....bahaya! Tubuhmu akan celaka!" teriak Monyet mengingatkan sahabatnya.
Namun sayang peringatan si Monyet tidak dihiraukan Beruang. Bahkan untuk yang kesekian kalinya ia terus menggoyang-goyang pohon durian makin kencang dengan tujuan si Monyet segera turun.
       Namun sayang bukan monyet yang turun melainkan beberapa buah durian yang masak terlepas dari tangkainya dan satu persatu menimpa tubuh Beruang....."Bukkk...bukkk...bukkk....bukkk....bukkk"
Beruang berteriak kesakitan. Dan ia lari tunggang langgang menjauh dari pohon durian sambil merasakan kesakitan ditimpa berpuluh-puluh buah durian.



-selesai- 
       

Kebiasaan Mendongeng Untuk Anak


          Judul di atas cukup menggelitik. Penulis mencoba untuk berbagi pengalaman tentang kebiasaan mendongeng yang pernah penulis alami.
         Ada suatu pengalaman yang menggelikan. Terkadang, membuat penulis heran dengan dampaknya setelah mendongengkan cerita buat si kecil. Tentu saja, si kecil  yang penulis maksudkan adalah keponakan-keponakan.


          Suatu hari, orang tua keponakan penulis merasa prihatin dengan tingkah laku anaknya. Anaknya tanda petik "mulai Nakal" menurut versi mereka. Anaknya cerdas namun  pendiam. Bila diajak bermain teman-teman sebayanya dia selalu menolak. Kalau dipaksa dia meronta.Akhirnya ngambek dan sulit makan.  Selain itu, ada kebiasaan yang membuat orang tuanya prihatin. Bila sudah berada di gendongan siapapun, dia enggan untuk turun. Bila mencoba menurunkannya maka dia meronta-ronta, menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Pernah juga sampai hilang suaranya gara-gara terus menerus menangis,
         "Kesempatan bagus nih, mau praktekin ilmu mendongeng" pikir penulis.
          Siang itu, penulis berusaha membangun alur cerita. Tentu saja, yang sesuai dengan kebiasaan  keponakan yang "tidak bagus" tersebut. Judul ceritanya :  Pak Tani, Sang Kelinci dan Si Kancil.
          Inti ceritanya, tentang anak Pak Tani yang walaupun memiliki kepandaian namun dia suka gendong orang tuanya. Dia enggan turun dari gendongan ayah ibunya. Akibat kebiasaan "tidak baik" tersebut, maka anak Pak Tani kalah dengan Sang kelinci dan Si Kancil yang senang bermain-main dengan teman-temannya. Tubuh mereka jadi sehat karena selalu mendapat vitamin D saat matahari pagi bersinar. Selain itu mereka banyak teman saat mulai masuk sekolah. Sedangkan anak pak tani yang tidak mau bergaul dan senang bermain di gendongan ibunya, akhirnya tidak punya teman. Selain itu tubuhnya sering sakit-sakitan karena kurang gerak dan tidak suka bermain dengan teman-temannya.
          Singkat cerita, sungguh luar biasa dampak cerita tersebut. Keesokan harinya, keponakan penulis mulai enggan digendong orang tuanya. Bahkan sejak saat itu, dia mulai mencoba berbaur dengan teman-temannya untuk melewatkan waktu bermain-main.Entah itu keberhasilan mendongeng atau sebab lain? Wallahu'alam. Semua itu tidak terlepas dari hidayah Allah SWT semata. Manusia hanya sekedar perantara.
          Adakah pengalaman anda mendongeng kepada anak memiliki dampak seperti yang penulis alami ? Semoga.....